Tidak Sekedar ‘Memasukkan’ Data: Catatan Tukang Entry

Kadang ada beberapa enumerato yang berkata, “Kamu enak, kerjaanmu cuma duduk.” Dipikir barangkali memang tak perlu melakukan apa-apa selain duduk manis memandangi kuisiner yang sudah terisi lalu menyalinnya ke CSPro, namun mungkin mereka harus tahu, duduk lama menghadap laptop dan sesekali harus memicingkan mata karena ada beberapa tulisan yang samar terlihat. Itu aktifitas yang tidak bisa diremehkan. Apalagi kerja tukang input data adalah setelah enumerator mendapatkan data. Jadi kerja tukang input data sejatinya sangat tergantung pada kinerja enumerator. Tim yang baik punya rancangan waktu yang jelas, kapan harus clearing, kapan harus setor kuisioner yang sudah fix, dan yang penting kapan makannya.

Berpindah-pindah tempat penginapan, dari yang paling nyaman sampai yang ala kadarnya saja, bagi seorang tukang input data seperti saya tidak bisa selalu berlama-lama menikmati empuknya kasur. Sebab waktu malam adalah pilihan terakhir untuk mengerjakan tanggung jawab. Sampai-sampai kejadian mistik dan menyeramkan kadang terjadi. Contohnya saat menginap di salah satu hotel di dekat pantai Pasir Putih Situbondo, saya yang sedang mengentry data diganggu oleh “penunggu setempat”. Maklum, lokasi hotel itu berdekatan dengan lokasi rawan kecelakaan meninggal. Tentunya bagi saya ini bukanlah alasan mengapa banyak data harus direvisi.

Meski beberapa kali saya juga harus ikut mensurvey lokasi sekolah sampel, untuk memastikan agar besok paginya saat hendak observasi tidak kelabakan arah, saya tetap cukup istirahat. Memaksimalkan istirahat di mobil, dan kadang di emperan masjid terdekat dengan sekolah saat observasi berlangsung. Suatu hal yang menarik, selain bantuan Google Maps untuk searching lokasi, masyarakat Tapal Kuda seperti Situbondo dan Probolinggo seringkali tidak tahu ketika ditanya di mana lokasi sekolah, MIS Darul Ulum di Nangkaan Tiris misalnya waktu itu. Karena masyarakat etnik Madura, termasuk yang tinggal di Tapal Kuda, lebih mengenal nama pengasuh atau “pemilik” sekolahnya daripada mengenal nama sekolahnya. Ini berlaku hanya bagi sekolah swasta yang berbasis pesantren. Lebih baik tanya “Di mana rumah Kiai Junaidi” daripada tanya “Di mana MIS Darul Ulum”. Maka ini menjadi PR yang sangat rumit, karena memang pada dasarnya kami akan kesulitan tahu siapa pengasuh pesantren di sekolah swasta tersebut.

Ada beberapa hal yang ganjil saat input data, berhubungan dengan CSPro. Bukan CSPro-nya yang eror, namun selain seringkali terjadi data wawancara susulan via telepon pada guru yang tidak hadir di sekolah tapi masuk sampel, juga pada kesilapan saya sebagai tukang input data. Bayangkan bagaimana di waktu malam, saat semua orang sudah tidur pulas, saya masih asyik dengan angka 1, 2, dan enter. Mungkin tombol angka 1, 2, dan Enter di keyboard adalah tombol yang paling sering disentuh ketika penelitian ini berlangsung. Kesilapan itu dalam bentuk rasa kantuk. Data memang selesai diinput, tapi kadang setelah dicek kembali besok siangnya, ada beberapa yang terlewat dan harus diedit. Pernah suatu ketika, Fathur Rosid menawarkan diri untuk membantu menginput. Saya bilang waktu itu, saya sendiri tukang inputnya kadang terlewat apalagi yang belum terbiasa. Saya tidak melarangnya, namun mencegahnya agar tidak merusak tanggung jawab saya.

Kembali pada pernyataan awal bahwa kinerja tukang entry tergantung pada enumerator, untuk saja enumeratornya termasuk sangat cermat dalam penilaian saya. Karena hanya sedikit yang harus mereka perbaiki setelah melewati proses clearing data dan saat diinput. Keterkaitan antara adanya surat izin, proses memasuki sekolah, bahkan merayu kepala sekolah agar dia merasa enjoy membiarkan sekolahnya diobservasi, hingga info-info penting yang didapatkan dari koordinator daerah terkait kebijakan utama daerah seperti PNS di Kota Pasuruan yang mendapatkan tunjangan makan minum, semua berkaitan erat dengan kinerja tukang entry. Kesinambungan dari salah satunya saja terputus, maka tukang entry hanya akan menjadi pengangguran yang terselubung. Inilah mengapa dalam hal ini, kadang saya merasa menjadi orang paling sedikit sumbangsihnya bagi tim. Maka dari itu saya kadang turut membantu mereka mengurus izin penelitian, wawancara, melengkapi alat tulis, penghapus, map, menghitung jumlah kuisioner, dan survey lokasi.

Yang paling sulit dilakukan adalah menekan enumerator untuk tepat waktu menyetorkan hasil wawancara guru. Sebab seringkali ada guru yang tidak hadir tapi masuk sampel. Bahkan bisa dibilang tiap hari pasti ada. Jadinya, harus selalu membuat catata khusus mendetail. Untungnya catatan detail itu teratasi dengan kode wilayah, sekolah, dan kode guru. Hingga tanpa mencatat namanya pun bisa teridentifikasi dengan mudah. Bagi saya inilah yang menarik daripada banyak penelitian yang saya ikuti sebelumnya. Kode itu penting bagaimana membuat tanda perkuisioner dapat dengan mudah dikelompokkan. Bahkan saat revisi, seakan saya menjadi hafal kode sekolah dan daerah. Salah kode bisa menyebabkan kesalah berantai yang membuat saya pernah mengulang input dari awal seperti pernah terjadi di Pasuruan.

Dalam input data, saya memulainya dengan menginput data observasi terlebih dahulu. Sebelum itu mengecek ulang apakah kode guru sesuai dengan nomor urut di roster. Ini saya lakukan untuk menghindari duplikasi data guru seperti yang saya alami di awal-awal penelitian di Situbondo. Setelah data observasi, baru melangkah ke kuisioner kepala sekolah. Bagi saya, kuisioner kepala sekolah adalah kuisioner paling mudah diinput. Meski pada akhirnya banyak revisi di Q43 terkait pendapatan dari mana dan harus dicentang “Lainnya” dan diisi “Tidak ada” jika memang tidak ada. Menurut saya, sekiranya, ada baiknya bila Q43 ini disetting otomatis tercentang dan terisi “Tidak ada” bila memang dikehendaki seperti itu di hasil wawancara sebagaimana disampaikan kepala sekolah.

Kuisioner paling sulit diinput adalah data observasi. Terutama ketika sampai di table yang ada NUPTK-nya. Kecematan penglihatan diuji di sini. Meski mata dan tangan berada dalam satu tubuh yang sama, tapi tetaplah keduanya dua organ yang berbeda. Sebab utamanya, jari tak punya mata untuk bisa selalu tepat memencet tombol yang sama dilihat oleh mata. Pada akhirnya saya membuat alat bantu untuk ini. Dengan cara menyediakan kertas khusus berlubang sebesar kolom NUPTK, agar ketika saya mengetik NUPTK salah seorang guru, saya tidak melihat NUPTK guru di atas atau di bawahnya yang terlist di data observasi. Ini sangat membantu apalagi ketika mata mulai dirundung kantuk.

Soal kuisioner guru, inilah yang saya pikir jari tangan selalu berbenturan dengan tombol angka 1 dan 2. Antara “Ya” dan “Tidak”. Setela itu Enter. Seringkali kadang saya melihat ada jawaban yang tak masuk akal. Semisal ada guru yang menjawab jarak antara rumah dan sekolah tempat mengajar sejauh 1 km, tapi waktu tempuhnya mencapai 30 menit dengan berkendara sepeda motor pribadi. Ini aneh. Terutama bagi Kota Pasuruan yang tidak macet dan jalannya mulus. Jika jawaban ini ada di kuisioner guru di sekolah daerah Tiris Probolinggo, atau di pedalaman Situbondo lainnya, barangkali ini wajar karena medannya memang sulit. Sampai-sampai ada guyonan sewaktu saya konfirmasi kepada enumerator mengenai jarak dan waktu temput, “Jarak 1 km, 30 menit waktu tempuh dengan sepeda motor pribadi. Si guru paling berhenti di tiap pos kamling untuk nge-gosip dengan temannya yang sedang santai di sana. Atau jarak 50 meter, waktu tempuh 1 jam. Dia ngesot kali ya.” Lalu tertawa pun meledak di antara kami.

Sebenarnya banyak hal menarik, bahkan lebih menarik dari cerita ini bilamana membaca cerita yang dialami enumerator.

Posting Komentar

0 Komentar