Catatan Harian
Eppak dan Emak
Saya kagum pada cara dan sikap emak dalam merawat eppak. Kadang pikiran saya tak benar-benar bisa menggapai batas kecintaan emak pada eppak. Dua tahun terakhir ini eppak tak bisa melakukan apapun. Terakhir saya melihatnya keluar rumah adalah pada saat bibi saya di Pakamban meninggal dunia, saat itu eppak sudah tak begitu bisa melihat dengan jelas. Ia mencari emak ke dapur, bertanya pada orang-orang, dan emak mendekatinya.
Saya tidak tahu berapa sebenarnya umur eppak. Semenjak saya bisa mengingatnya, ia telah beruban. Ia masih bisa mengingat lagu Jepang yang ia nyanyikan dulu di Sekolah Rakyat tempat ia belajar, meski hanya sampai di kelas tiga karena ia bukan anak bangsawan atau kelas menengah pada zaman itu. Ia mengingat dengan jelas dan bisa menceritakan ulang bagaimana ia menyimak pidato Sukarno pada 17 Agustus 1945.
Jepang menjajah Indonesia 3,5 tahun lamanya, berarti ia lebih awal dari masuknya Jepang. Ia menceritakan dengan detail bagaimana sekutu menghancurkan Hirosima dan Nagasaki dan disiarkan melalui radio nasional. Ia bercerita dengan detail bagaimana beberapa saudaranya yang lebih tua meninggal di Resolusi Jihad. Ia adalah manusia Indonesia di semua Orde, dari Lama ke Baru, dari Reformasi hingga Jokowi sekarang ini. Bagi saya, ia bukan sekedar bapak pada umumnya, tapi juga buku sejarah berjalan yang bisa disimak. Ia mampu bercerita lengkap soal Sukarno, Hatta, Tan Malaka, dan beberapa tokoh Indonesia ternama yang saya sering lupa nama-namanya.
Eppak lebih tua usianya daripada usia Republik ini!
Emak pernah cerita kalau dulu ada beberapa tetangga yang suka mengejeknya, “Suamimu kok ubanan. Sudah tua ya?” Nada pertanyaannya tak ia jawab, kurang ajarnya tak ia simpan dalam hati. Saya anak ketiga, hari di waktu emak masih segar sebagai seorang perempuan, bekerja seharian untuk menghidupi kami, eppak sedang menginjak masa di mana tahapan hidup bisa disebut “renta”.
Dua tahun terakhir eppak terbaring di tempat tidur. Awalnya, ia berbaring di kamar paling ujung di rumah kami. Tapi karena permintaannya sendiri, ia pindah ke ranjang tak jauh dari kamar mandi dan tempat shalat. Lama kelamaan, ia benar-benar tidak bisa melangkah ke mana pun. Sebelum dua tahun terakhir ini, saya dan saudara-saudara saya berusaha agar undakan tidak terlalu tinggi dan eppak bisa mengaksesnya. Kami memastikan agar kamar mandi tidak licin hingga membuatnya terjatuh. Lantai di rumah, yang tidak terlapisi keramik atau tekel, sudah cukup bagus baginya yang penting rata dan tak berbenjut.
Dulu sekali, saat saya masih kecil, di umur 6 tahun, ia sering mengajak saya ke rumah kami di Prenduan saat kami tinggal di Pakamban Laok. Di hari Jum’at pagi, ia membonceng saya dengan sepeda kayuhnya menuju Pondok Pesantren Al-Amien. Selain menjenguk dua keponakannya, ia juga memulung beberapa barang tak terpakai di tempat sampah di pesantren modern itu. Kami mengumpulkan dan menjualnya. Benar, kami adalah pemulung. Waktu itu, yang termahal harga perkilonya adalah gelas plastik air kemasan. Dari pendapatan itu, cukuplah untuk memenuhi beberapa kebutuhan. Kami tak bertani sebagaimana tetangga pada umumnya, karena kami tak punya ladang.
Sampai tahun 2005, aktifitas eppak masih seperti itu. Sedangkan emak bekerja serabutan mulai dari pembantu rumah tangga, pengasong telur asin, memproduksi kerupuk ikan, dan berjualan nasi bungkus. Yang terakhir ini berlangsung sampai saat ini sejak kami tinggal di Prenduan pada Juni 2005. Saat itu, eppak benar-benar mulai tidak produktif, tak ada penghasilan yang masuk darinya. Hal yang saya salut padanya adalah ia masih istiqomah mengaji hingga hari tuanya, pergi ke masjid dan aktif di kegiatan tadarus di Masjid Gemma Prenduan, hingga ia benar-benar tak bisa membaca al-Qur’an karena terganggu penglihatannya, dan saat ini ia masih melafalkan kitab suci di beberapa ayat yang ia ingat dengan baik.
Saat ini, saat di mana eppak hanya bisa terbaring, emak merawatnya. Eppak sering bershalat di tempat tidurnya sekarang, membaca Qu’ran yang ia hafal, dan mengingat satu-persatu anak-anaknya di saat ingatannya kadang terlampau jauh kembali ke masa lalu. Saya rintih yang menjauh di rantau dengan alasan untuk belajar. Sesekali saya pulang untuk menjenguk, karena rindu tak bisa benar-benar hilang dengan doa semalam suntuk.
Saya tidak tahu berapa sebenarnya umur eppak. Semenjak saya bisa mengingatnya, ia telah beruban. Ia masih bisa mengingat lagu Jepang yang ia nyanyikan dulu di Sekolah Rakyat tempat ia belajar, meski hanya sampai di kelas tiga karena ia bukan anak bangsawan atau kelas menengah pada zaman itu. Ia mengingat dengan jelas dan bisa menceritakan ulang bagaimana ia menyimak pidato Sukarno pada 17 Agustus 1945.
Jepang menjajah Indonesia 3,5 tahun lamanya, berarti ia lebih awal dari masuknya Jepang. Ia menceritakan dengan detail bagaimana sekutu menghancurkan Hirosima dan Nagasaki dan disiarkan melalui radio nasional. Ia bercerita dengan detail bagaimana beberapa saudaranya yang lebih tua meninggal di Resolusi Jihad. Ia adalah manusia Indonesia di semua Orde, dari Lama ke Baru, dari Reformasi hingga Jokowi sekarang ini. Bagi saya, ia bukan sekedar bapak pada umumnya, tapi juga buku sejarah berjalan yang bisa disimak. Ia mampu bercerita lengkap soal Sukarno, Hatta, Tan Malaka, dan beberapa tokoh Indonesia ternama yang saya sering lupa nama-namanya.
Eppak lebih tua usianya daripada usia Republik ini!
Emak pernah cerita kalau dulu ada beberapa tetangga yang suka mengejeknya, “Suamimu kok ubanan. Sudah tua ya?” Nada pertanyaannya tak ia jawab, kurang ajarnya tak ia simpan dalam hati. Saya anak ketiga, hari di waktu emak masih segar sebagai seorang perempuan, bekerja seharian untuk menghidupi kami, eppak sedang menginjak masa di mana tahapan hidup bisa disebut “renta”.
Dua tahun terakhir eppak terbaring di tempat tidur. Awalnya, ia berbaring di kamar paling ujung di rumah kami. Tapi karena permintaannya sendiri, ia pindah ke ranjang tak jauh dari kamar mandi dan tempat shalat. Lama kelamaan, ia benar-benar tidak bisa melangkah ke mana pun. Sebelum dua tahun terakhir ini, saya dan saudara-saudara saya berusaha agar undakan tidak terlalu tinggi dan eppak bisa mengaksesnya. Kami memastikan agar kamar mandi tidak licin hingga membuatnya terjatuh. Lantai di rumah, yang tidak terlapisi keramik atau tekel, sudah cukup bagus baginya yang penting rata dan tak berbenjut.
Dulu sekali, saat saya masih kecil, di umur 6 tahun, ia sering mengajak saya ke rumah kami di Prenduan saat kami tinggal di Pakamban Laok. Di hari Jum’at pagi, ia membonceng saya dengan sepeda kayuhnya menuju Pondok Pesantren Al-Amien. Selain menjenguk dua keponakannya, ia juga memulung beberapa barang tak terpakai di tempat sampah di pesantren modern itu. Kami mengumpulkan dan menjualnya. Benar, kami adalah pemulung. Waktu itu, yang termahal harga perkilonya adalah gelas plastik air kemasan. Dari pendapatan itu, cukuplah untuk memenuhi beberapa kebutuhan. Kami tak bertani sebagaimana tetangga pada umumnya, karena kami tak punya ladang.
Sampai tahun 2005, aktifitas eppak masih seperti itu. Sedangkan emak bekerja serabutan mulai dari pembantu rumah tangga, pengasong telur asin, memproduksi kerupuk ikan, dan berjualan nasi bungkus. Yang terakhir ini berlangsung sampai saat ini sejak kami tinggal di Prenduan pada Juni 2005. Saat itu, eppak benar-benar mulai tidak produktif, tak ada penghasilan yang masuk darinya. Hal yang saya salut padanya adalah ia masih istiqomah mengaji hingga hari tuanya, pergi ke masjid dan aktif di kegiatan tadarus di Masjid Gemma Prenduan, hingga ia benar-benar tak bisa membaca al-Qur’an karena terganggu penglihatannya, dan saat ini ia masih melafalkan kitab suci di beberapa ayat yang ia ingat dengan baik.
Saat ini, saat di mana eppak hanya bisa terbaring, emak merawatnya. Eppak sering bershalat di tempat tidurnya sekarang, membaca Qu’ran yang ia hafal, dan mengingat satu-persatu anak-anaknya di saat ingatannya kadang terlampau jauh kembali ke masa lalu. Saya rintih yang menjauh di rantau dengan alasan untuk belajar. Sesekali saya pulang untuk menjenguk, karena rindu tak bisa benar-benar hilang dengan doa semalam suntuk.
Posting Komentar
0 Komentar