Catatan Harian
Sepinya Kematian
Judul yang kucantumkan di atas terinspirasi dari apa yang ditulis Elias, “The Loneliness of Dying.” Aku menulis ini dalam keadaan sangat berdahaga pada renungan akan ketiadaan tersebut. Orang-orang, termasuk kamu yang membaca ini, mungkin akan terpikir bahwa aku sedang pesimis pada satu hal. Memang, dan aku tidak mungkin menceritakannya di sini.
Kita punya kecenderungan membuat mitologi tertentu atas kematian. Misalnya, kita percaya bahwa kita akan berakhir di salah satu dari dua tempat: Surga dan Neraka, atau Hades dan Valhalla. Dalam beberapa hal, mitos tersebut tercipta karena manusia sungguh-sungguh ingin kekal, atau minimal mereka dapat membuat ilusi bahwa baik hidup atau pun mati adalah takdir penciptaan Tuhan yang paling tidak sia-sia. Perlawanan terhadap mitos ini sama bebalnya dengan argumentasi ilusif dari orang-orang yang mempertahankannya.
Dari sekian banyak makhluk yang tercipta di alam semesta ini, hanya manusia yang peduli pada kematian. Makhluk lainnya tidak. Kepedulian kita tampak pada doa kita sehari-hari agar berakhir secara husnul khatimah, tangis yang mendalam pada yang tiada, atau kesedihan yang tiada tara ketika salah satu dari kita didiagnosis akan memiliki umur yang tak akan lama. Di luar itu, manusia membuat banyak sistem yang membuat kematian itu benar-benar terpikirkan; asuransi jiwa, pengurus pemakaman, dokter sekaligus kamar mayat, doa pengantar ditutupnya liang lahat, hingga ambulan yang memiliki hak melanggar lalu lintas ketika mereka sedang membawa orang-orang sekarat. Kita sangat khawatir pada kematian itu.
Kematian menjadi problem kehidupan, padahal orang yang mati selalu terlihat tenang. Aku pernah melihat bagaimana nenekku meninggal. Aku pernah mengalami malam di mana aku dikabari bahwa bapakku menemui ajal. Kematian menjadi sangat berat terlalu karena kita mengalami hidup, dan selama hidup kita memiliki cinta, rasa sayang, dan perasaan yang mungkin enggan untuk ditiadakan begitu saja.
Meski kita punya kecenderungan bahwa mereka yang telah pergi akan mendapatkan tempatnya masing-masing sesuai takdir dan laku mereka di dunia, kita sendiri selalu menyangkal bahwa apa yang kita alami sehari-hari bukanlah bagian dari akhir yang cepat.
Sebagai orang yang beragama, aku pernah diyakinkan dengan pemahaman bahwa setiap orang memiliki takdirnya masing-masing, termasuk kapan masing-masing kita akan didoakan dengan identitas sebagai almarhum. Seiring waktu berjalan, aku juga banyak melihat bagaimana orang mati. Kapan kita akan mati dan bagaimana kita mati memang dua hal yang berbeda. Mungkin yang kedua memiliki ketergantungan pada yang pertama. Orang bisa mati muda karena kecelakaan di jalan saat mereka masih hobi berkedara. Orang bisa mati di saat muda bisa jadi karena ada penyakit bawaan yang ia dapatkan dalam masa perkembangannya menjadi dewasa. Orang bisa mati oleh penyakit tertentu yang sulit disembuhkan.
Takdir berurusan dengan ajaran agama, sedangkan bagaimana orang mati itu urusannya dengan tinjauan medis. Takdir tidak perlu dipahami bagaimana ia bekerja. Sedangkan proses yang menjadikan seseorang meninggal harus dipahami dengan pendekatan ilmiah. Untuk itu, angka harapan hidup di berbagai negara berbeda-beda, bahkan bergantung pada seberapa maju ilmu kedokteran mereka.
Di momen yang lain, manusia bisa mati karena kelaparan, bencana alam, dan serangan binatang buas—soal kebuasan binatang, sebenarnya tak ada yang lebih buas ketimbang binatang bernama manusia. Homo homini lupus? Entahlah! Aku sendiri bukan serigala, meski bisa lebih buas dari mereka.
Orang justru khawatir pada kematian yang cepat ketika ia menyangka bahwa ia memiliki cita-cita, atau sesuatu yang perlu ia selesaikan sebelum benar-benar berakhir. Setiap orang pada dasarnya bisa menyemangati diri sendiri, dengan melupakan mati, tapi mereka bukan satu-satunya daging yang dapat membicarakan harapan. Harapan harus ditautkan dengan harapan orang lain.
Dalam ketidakberharapan pada apapun, setiap orang dapat menantang kapan pun mati akan hadir, dengan cara yang bagaimana pun pula.
Pastinya, maut adalah obat paling mujarab bagi setiap penyakit.
Kita punya kecenderungan membuat mitologi tertentu atas kematian. Misalnya, kita percaya bahwa kita akan berakhir di salah satu dari dua tempat: Surga dan Neraka, atau Hades dan Valhalla. Dalam beberapa hal, mitos tersebut tercipta karena manusia sungguh-sungguh ingin kekal, atau minimal mereka dapat membuat ilusi bahwa baik hidup atau pun mati adalah takdir penciptaan Tuhan yang paling tidak sia-sia. Perlawanan terhadap mitos ini sama bebalnya dengan argumentasi ilusif dari orang-orang yang mempertahankannya.
Dari sekian banyak makhluk yang tercipta di alam semesta ini, hanya manusia yang peduli pada kematian. Makhluk lainnya tidak. Kepedulian kita tampak pada doa kita sehari-hari agar berakhir secara husnul khatimah, tangis yang mendalam pada yang tiada, atau kesedihan yang tiada tara ketika salah satu dari kita didiagnosis akan memiliki umur yang tak akan lama. Di luar itu, manusia membuat banyak sistem yang membuat kematian itu benar-benar terpikirkan; asuransi jiwa, pengurus pemakaman, dokter sekaligus kamar mayat, doa pengantar ditutupnya liang lahat, hingga ambulan yang memiliki hak melanggar lalu lintas ketika mereka sedang membawa orang-orang sekarat. Kita sangat khawatir pada kematian itu.
Kematian menjadi problem kehidupan, padahal orang yang mati selalu terlihat tenang. Aku pernah melihat bagaimana nenekku meninggal. Aku pernah mengalami malam di mana aku dikabari bahwa bapakku menemui ajal. Kematian menjadi sangat berat terlalu karena kita mengalami hidup, dan selama hidup kita memiliki cinta, rasa sayang, dan perasaan yang mungkin enggan untuk ditiadakan begitu saja.
Meski kita punya kecenderungan bahwa mereka yang telah pergi akan mendapatkan tempatnya masing-masing sesuai takdir dan laku mereka di dunia, kita sendiri selalu menyangkal bahwa apa yang kita alami sehari-hari bukanlah bagian dari akhir yang cepat.
Sebagai orang yang beragama, aku pernah diyakinkan dengan pemahaman bahwa setiap orang memiliki takdirnya masing-masing, termasuk kapan masing-masing kita akan didoakan dengan identitas sebagai almarhum. Seiring waktu berjalan, aku juga banyak melihat bagaimana orang mati. Kapan kita akan mati dan bagaimana kita mati memang dua hal yang berbeda. Mungkin yang kedua memiliki ketergantungan pada yang pertama. Orang bisa mati muda karena kecelakaan di jalan saat mereka masih hobi berkedara. Orang bisa mati di saat muda bisa jadi karena ada penyakit bawaan yang ia dapatkan dalam masa perkembangannya menjadi dewasa. Orang bisa mati oleh penyakit tertentu yang sulit disembuhkan.
Takdir berurusan dengan ajaran agama, sedangkan bagaimana orang mati itu urusannya dengan tinjauan medis. Takdir tidak perlu dipahami bagaimana ia bekerja. Sedangkan proses yang menjadikan seseorang meninggal harus dipahami dengan pendekatan ilmiah. Untuk itu, angka harapan hidup di berbagai negara berbeda-beda, bahkan bergantung pada seberapa maju ilmu kedokteran mereka.
Di momen yang lain, manusia bisa mati karena kelaparan, bencana alam, dan serangan binatang buas—soal kebuasan binatang, sebenarnya tak ada yang lebih buas ketimbang binatang bernama manusia. Homo homini lupus? Entahlah! Aku sendiri bukan serigala, meski bisa lebih buas dari mereka.
Orang justru khawatir pada kematian yang cepat ketika ia menyangka bahwa ia memiliki cita-cita, atau sesuatu yang perlu ia selesaikan sebelum benar-benar berakhir. Setiap orang pada dasarnya bisa menyemangati diri sendiri, dengan melupakan mati, tapi mereka bukan satu-satunya daging yang dapat membicarakan harapan. Harapan harus ditautkan dengan harapan orang lain.
Dalam ketidakberharapan pada apapun, setiap orang dapat menantang kapan pun mati akan hadir, dengan cara yang bagaimana pun pula.
Pastinya, maut adalah obat paling mujarab bagi setiap penyakit.
Posting Komentar
0 Komentar