Tentang Hidup di Luar Tempurung
Di pertengahan Agustus ini, tepat malam ke-16, aku buru-buru
menyelesaikan Hidup di Luar Tempurung yang kudapatkan bulan sebelumnya. Buku
tersebut merupakan karya Benedict Anderson tentang dirinya. Ya, buku itu otobiografi
yang amat berarti untuk melihat bagaimana seorang akademisi sangat berdedikasi pada
kemanusiaan, bukan sekedar keilmuan.
Buku ini ditulis dalam Bahasa Inggris dan langsung diterjemahkan ke dalam Bahasa Jepang, karena memang diperuntukkan bagi pembaca Jepang ketika ia tinggal di sana dalam beberapa waktu. Meski demikian, ia dapat pula dibaca dalam konteks Indonesia, karena demikian kita jadi paham asal mula penulisan buku-bukunya yang lain yang amat monumental dalam melihat politik perbandingan, terutama bagaimana Imagined Communities rampung. Saya sebagai pembaca versi terjemahan Indonesianya amat berterima kasih pada penerjemah buku ini, Ronny Agustinus, yang dengan ciamik membahasakan. Meski terjemahan, saya seperti sedang membaca tulisan Anderson sendiri yang kadang serius dan kadang kocak.
Dalam buku tersebut, Anderson bercerita banyak hal, mulai dari asal-usul dirinya yang dilahirkan di Vietnam dengan bokap Irlandia dan nyokap Inggris Raya, hingga bagaimana ia akhirnya dibesarkan ke negeri asal bokapnya. Perjalanan hidup yang demikian, terutama tahapan di mana ia dibesarkan, di Irlandia hingga lingkungan Cambridge, memberikan sentuhan yang amat memikat terhadap karier akademiknya di masa-masa selanjutnya.
Anderson bercerita pengalaman akademiknya yang sangat menantang. Ia lulusan Cambridge, menjalani tahapan pendidikan selanjutnya di Cornell hingga mengajar. Di Amerika ia kenal dengan berbagai intelektual yang sangat berdedikasi, salah satunya adalah Kahin yang ia puji. Dari Kahin pulalah ia banyak belajar dan terarah pada Indonesia sebagai subjek disertasinya tentang masa-masa akhir pendudukan Jepang.
Pengalaman-pengalaman yang ia ungkapkan di buku ini mengungkapkan kepada kita tentang peneliti bule yang menyatu dengan masyarakat tempatnya meneliti. Ia mempelajari bahasa-bahasa wilayah tempatnya tinggal untuk sementara waktu. Karena itulah ia dikenal sebagai polyglot. Dengan demikian ia dapat menenggelamkan diri ke jantung dan perasaan terdalam subjek yang ia tulis.
Penulisan otobiografi perjalanan akademik Anderson memberikan kita sentuhan pemahaman bahwa pertarungan dan pertaruhan yang dihadapi oleh seorang pemikir amat sulit. Orang bisa terjebak pada teknokrasi kampus yang amat kaku dan enggan berkotor-kotor tangan di ranah yang lebih bersentuhan dengan masyarakat. Cinta Anderson pada masyarakat di mana ia meneliti dan menulis membebaskannya dari kekakuan itu.
Konsekuensi yang ia terima amat sulit. Gara-gara menulis laporan tentang kup 1965 (Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup inIndonesia) yang terkenal itu, ia dimusuhi militer Indonesia dan dilarang masuk ke Indonesia berpuluh-puluh tahun lamanya. Akibatnya, ia harus mencari subjek bahasan lain yang masih seputar Asia Tenggara. Sampailah ia, salahnya satunya, pada Siam dan Filipina. Di dua wilayah ini ia mendapati banyak hal yang berbeda dengan Indonesia di satu sisi dan persamaan di sisi lain. Politik perbandingan yang ia tekuni pun semakin terlengkapi baik dari segi metode maupun wawasan. Tentang Siam, ia menulis In the Mirror: Literature and Politics in Siam in the American Era. Tentang Filipina, ia menulis Under Three Flags: : Anarchism and the Anti-Colonial Imagination.
“Di luar tempurung negara-bangsa, di luar tempurung disiplin ilmu yang ketat.” Dengan dua frasa itu barangkali buku ini bisa saya sederhanakan secara pribadi. Secara pribadi loh ya, barangkali kalau kamu baca sendiri, kamu akan mendapati hal lain yang lebih berharga dari sekedar yang saya temukan. Maklum, saya hanya pembaca malas yang berusaha menulis ini sebagai rangkuman kecil agar usaha membaca tidak terlewatkan begitu saja.
Buku ini ditulis dalam Bahasa Inggris dan langsung diterjemahkan ke dalam Bahasa Jepang, karena memang diperuntukkan bagi pembaca Jepang ketika ia tinggal di sana dalam beberapa waktu. Meski demikian, ia dapat pula dibaca dalam konteks Indonesia, karena demikian kita jadi paham asal mula penulisan buku-bukunya yang lain yang amat monumental dalam melihat politik perbandingan, terutama bagaimana Imagined Communities rampung. Saya sebagai pembaca versi terjemahan Indonesianya amat berterima kasih pada penerjemah buku ini, Ronny Agustinus, yang dengan ciamik membahasakan. Meski terjemahan, saya seperti sedang membaca tulisan Anderson sendiri yang kadang serius dan kadang kocak.
Dalam buku tersebut, Anderson bercerita banyak hal, mulai dari asal-usul dirinya yang dilahirkan di Vietnam dengan bokap Irlandia dan nyokap Inggris Raya, hingga bagaimana ia akhirnya dibesarkan ke negeri asal bokapnya. Perjalanan hidup yang demikian, terutama tahapan di mana ia dibesarkan, di Irlandia hingga lingkungan Cambridge, memberikan sentuhan yang amat memikat terhadap karier akademiknya di masa-masa selanjutnya.
Anderson bercerita pengalaman akademiknya yang sangat menantang. Ia lulusan Cambridge, menjalani tahapan pendidikan selanjutnya di Cornell hingga mengajar. Di Amerika ia kenal dengan berbagai intelektual yang sangat berdedikasi, salah satunya adalah Kahin yang ia puji. Dari Kahin pulalah ia banyak belajar dan terarah pada Indonesia sebagai subjek disertasinya tentang masa-masa akhir pendudukan Jepang.
Pengalaman-pengalaman yang ia ungkapkan di buku ini mengungkapkan kepada kita tentang peneliti bule yang menyatu dengan masyarakat tempatnya meneliti. Ia mempelajari bahasa-bahasa wilayah tempatnya tinggal untuk sementara waktu. Karena itulah ia dikenal sebagai polyglot. Dengan demikian ia dapat menenggelamkan diri ke jantung dan perasaan terdalam subjek yang ia tulis.
Penulisan otobiografi perjalanan akademik Anderson memberikan kita sentuhan pemahaman bahwa pertarungan dan pertaruhan yang dihadapi oleh seorang pemikir amat sulit. Orang bisa terjebak pada teknokrasi kampus yang amat kaku dan enggan berkotor-kotor tangan di ranah yang lebih bersentuhan dengan masyarakat. Cinta Anderson pada masyarakat di mana ia meneliti dan menulis membebaskannya dari kekakuan itu.
Konsekuensi yang ia terima amat sulit. Gara-gara menulis laporan tentang kup 1965 (Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup inIndonesia) yang terkenal itu, ia dimusuhi militer Indonesia dan dilarang masuk ke Indonesia berpuluh-puluh tahun lamanya. Akibatnya, ia harus mencari subjek bahasan lain yang masih seputar Asia Tenggara. Sampailah ia, salahnya satunya, pada Siam dan Filipina. Di dua wilayah ini ia mendapati banyak hal yang berbeda dengan Indonesia di satu sisi dan persamaan di sisi lain. Politik perbandingan yang ia tekuni pun semakin terlengkapi baik dari segi metode maupun wawasan. Tentang Siam, ia menulis In the Mirror: Literature and Politics in Siam in the American Era. Tentang Filipina, ia menulis Under Three Flags: : Anarchism and the Anti-Colonial Imagination.
“Di luar tempurung negara-bangsa, di luar tempurung disiplin ilmu yang ketat.” Dengan dua frasa itu barangkali buku ini bisa saya sederhanakan secara pribadi. Secara pribadi loh ya, barangkali kalau kamu baca sendiri, kamu akan mendapati hal lain yang lebih berharga dari sekedar yang saya temukan. Maklum, saya hanya pembaca malas yang berusaha menulis ini sebagai rangkuman kecil agar usaha membaca tidak terlewatkan begitu saja.
Posting Komentar
0 Komentar