Tentang Kepura-puraan Badai



Duduk sendirian bersandar pada bayang tentang badai. Kau merasakan ada denyut yang tak selesai. Lalu hilang. Kemenjadian telah terkubur, tidak kekal. Kau melihat kelak hanya ilusi masa lalu. Keinginanmu untuk mati adalah kesendirianmu yang tak tercapai. Pada momen tertentu kau dapat mengingat kembali, bagaimana nafas kerinduan tak memulai apa pun kecuali keasingan. Di tengah perjalananmu yang ditakdirkan panjang, apa yang akan kau perbuat selain harapan? Sedangkan kau sudah pesimis pada harap. Kau tak percaya pada rasa optimis. Kau sinis dengan ucapan tentang ‘suatu saat’. Itulah yang kau maksud dulu dengan ‘tak ada yang abadi kecuali ketidakkekalan itu sendiri’. Jangan berharap apa pun pada dunia. Semua orang melakukan euphoria tentang kebijaksanaa, kebahagiaan, kenikmatan, dan kebersamaan. Kau hanya seorang diri. Sapa hangat pada malam yang dingin itu hanyalah simulasi kemeriahan untuk menutup kediaman.

Mereka itu, tahu apa tentang kehidupan? Tak ada. Waktu mereka potong. Ruang mereka batasi. Tak ada tempat bagimu, melainkan itu hanya kepura-puraan. Jika kau merasakan hidup dan mati bersebelahan, mereka merasakan hidup yaitu sekarang dan mati tidak tahu kapan. Kematian dan kehidupan hanya ucapan, selebihnya adalah kebohongan. Kata yang tersusun bijak—jika boleh meminjam bahasa orang Jawa—itu ”Ngapusi.”

Kau boleh seperti mereka. Tetapi ketahuilah, kau akan dilupakan zaman bahkan pada saat zamanmu masih panjang dan sedang berjalan. Rintih tubuhmu adalah gambaran hari esok. Allah maha mengetahui dan kau mengetahui sejauh pengetahuanmu tentang langit yang biru. Di luar itu kegelapan yang tak pernah berwarna, tampak hitam namun juga bening. Ya. Kegelapan adalah ketidakberhinggaan warna. Bukan bening yang asli, tapi kegelapanlah yang asli dan abadi.

Jangan kau berteman dengan siapapun selain setan. Jangan kau menulis apa pun kecuali angan. Jangan kau mengharap apa pun kecuali kealpaan. Jangan kau menerima apapun kecuali kesombongan perempuan. Jangan kau percaya pada apapun kecuali kepada ketidakyakinan. Jangan kau bersama siapapun kecuali kau mampu menyebut ia adalah dirimu sendiri. Jangan kau menghina siapapun kecuali ia adalah dirimu sendiri.

Aku tidak mengajarkan kejelekan dan sinisme yang berlebihan. Tetapi keadaan dan kondisi dunia ini adalah kesimpang-siuran diri. Tubuh adalah medium di mana kau dapat mengetahui bahwa baik dan buruk tidak ada bedanya; jahat dan bermartabat tak lebih dari dua mata kaki yang tak dapat melihat pada dirinya sendiri. Maka jangan heran jika kau tak sengaja menginjak tahi ayam tetapi malah hidung di mukamu yang bertanggung jawab dengan bahunya.

Kau menghindari apapun yang dianggap buruk, bau, dan menjijikkan. Termasuk kau enggan melihat kotoran yang keluar dari tubuhmu pada saat kau di kamar mandi. Itulah bagian dari dirimu yang kau usir. Sedangkan dirimu sendiri dan tubuh palsumu hanya menerima yang kau anggap baik. Semuanya hanya anggapan. Dan anggapan yang menanglah yang akan ditulis oleh sejarah serta orang-orang akan mengingat kebaikan dari kemenangan. Orang-orang tidak akan berpikir kenapa telah lahir anggapan tentang baik dan buruk.

Selayaknya buruk rupa wajahmu yang tak akan menjadi sejarah, maka wajah burukmu terlupakan zaman. Sengaja dibuang dari peredaran, dianggap memalukan, dan tak layak pakai apalagi dipasarkan. Namun saranku, sekecil apapun lakumu pada dunia, jangan sampai kau menjadi milik seseorang. Memiliki itu bukan kemerdekaan. Demikian pula rasa dimiliki. Jangankan untuk melangkah ke depan pintu untuk menyambut tamu, tersenyum pada dedaunan di pagi hari pun kau akan merasa bersalah pada orang yang memilikimu.

Inilah saran tentang kemenjadian. Realitas yang kutulis penuh nafsu dan dendam ini benar. Risalah tentang baik dan buruk dalam anggapan orang sedang kupinjam untuk meyakinkanmu bahwa semua orang bisa berbohong. Termasuk membohongi diri sebagaimana sapa hangat di malam yang dingin. Walau ia mengatakan bahwa ia rindu padamu, itu hanya kata yang tidak diselesaikan dengan kata ‘sebenarnya tidak’. Orang yang berbohong padamu itu pelaksana kefasikan. Tidak ada pahala bagi mereka kecuali sikap acuh pada saat kau tidak dibutuhkan lagi. Kenapa mereka menahanmu dan berkata bahwa dirimu begitu penting? Karena ia ingin menguasaimu sepenuhnya dan tidak memulangkanmu pada kebajikan.

07 Jun. 12

Posting Komentar

0 Komentar